Data Buku: Judul : Gracias! Catatan Harian di Amerika Latin
Penulis : Henri J.M. Nouwen
Penerbit : Kanisius
Cetakan : 1, 2007
Tebal : 292 halaman
Gracias a usted, gracias a Dios, muchas gracias!
Terima kasih, terima kasih kepada Allah, banyak terima kasih!
Ungkapan inilah yang menjadi kesimpulan atas semua pengalaman Henri J.M. Nouwen dalam peristiwa-peristiwa hidup yang ia alami, khususnya dalam pergulatan panjangnya mencari jawaban atas pertanyaan “Apakah Allah memanggil saya untuk hidup dan bekerja di Amerika Latin pada tahun-tahun yang akan datang?”
Enam bulan berkarya sebagai misionaris di Peru, melalui perjumpaan dengan orang-orang yang dilayaninya, teristimewa orang-orang miskin dan lapar, anak-anak terlantar, orang-orang muda yang tak punya uang, pekerjaan atau tempat tinggal yang layak; menghantarnya pada jawaban akan pertanyaan di atas, yang merupakan kunci utama dari setiap peristiwa yang ia alami. Ia terus-menerus mencari jawaban atas pertanyaan tersebut dengan merefleksikan setiap pengalaman yang terjadi setiap hari, sampai pada akhirnya ia menemukan jawaban yang sesungguhnya.
Gracias! Terima kasih! Kata inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan yang terus-menerus ia refleksikan. Memang tak mudah baginya untuk menyimpulkan jawaban itu sebagai jawaban yang sesungguhnya. Namun hal yang membuat dirinya yakin akan jawaban itu sebenarnya hanya masalah sepele. “Kata yang terus menerus saya dengar ke mana pun saya pergi adalah Gracias! Kata itu rasanya seperti refrain suatu balada panjang yang terdiri dari berbagai peristiwa …… Saya melihat ribuan anak miskin dan lapar, saya bertemu dengan orang-orang muda baik laki-laki maupun perempuan yang tidak punya uang, pekerjaan atau tempat tinggal yang layak……...Namun di tengah-tengah ini semua, kata itu terus mengangkat saya semakin tinggi sampai pada tataran baru untuk memandang dan mendengar: Gracias! Terima kasih!” (hal.289).
Buku ini berisikan buah refleksi dan catatan Henri J.M. Nouwen selama ia berkarya selama enam bulan di Peru, yang terhitung sejak 18 Oktober 1981 sampai 29 Maret 1982. Secara terbuka ia mencoba menuangkan setiap pengalaman harian yang ia alami, perjumpaan dengan orang lain, atau pun pengalaman rohani yang ia alami. Tak hanya pengalaman indah dan menyenangkan yang ia sharingkan, namun juga beberapa pengalaman buruk atau pun down dalam menjalani hidup panggilannya, kesulitannya mempelajari bahasa Spanyol yang hampir membuat dirinya frustasi. “Saya frustasi karena saya melakukan kesalahan yang sama seperti yang saya buat sembilan tahun yang lalu dan terus merasa bahwa sebenarnya saya harus sudah jauh lebih maju karena dulu saya pernah berminggu-minggu dan berbulan-bulan belajar bahasa Spanyol” (hal.45). Semuanya itu dikemas dalam buku hariannya.
Secara runtut Henri menuliskan pengalaman hidupnya sebagai seorang misionaris. Tiga bulan pertama ialah pengalamannya belajar bahasa Spanyol dan juga perjumpaannya dengan orang-orang yang ia kunjungi.sedangkan tiga bulan berikutnya adalah pengalamannya berkarya di tengah umat, di mana situasi masyarakat dunia sedang terjadi kekacauan, perang, dan konflik.
Namun dalam buku ini juga ada beberapa kekurangan, yang bisa menimbulkan pertanyaan dalam diri pembaca. Setidaknya ada sepuluh hari yang tidak tercatat dalam Catatan Harian ini. Pertanyaan yang mungkin timbul dalam diri pembaca yakni: Apakah yang terjadi dalam diri Henri sehingga ia tak mencatat pengalamannya? Apakah ada yang ia rahasiakan dari pengalaman hariannya? Atau, mungkinkah redaktur melewatkannya?
Kendati ada beberapa kekurangan, namun catatan-catatan yang ia tuangkan tidak membuat jemu para pembaca. Setiap hari ada hal baru yang ditemukan, dilihat, dialami, dan akhirnya direfleksikannya. Salah satu contoh kocak yang ditulisnya sebagai berikut:
“Seorang biarawati yang sudah beberapa lama tinggal di Lima menerima tamu seorang temannya. Suatu sore, ketika kawan ini ingin berbelanja di pasar, tuan rumahnya yang sudah berpengalaman itu berkata, ‘Hati-hatilah di bus dan di pasar. Sebelum kamu menyadarinya, mereka akan merampas uangmu, tas tanganmu dan jam tanganmu. Lepaskan jam tanganmu dan simpanlah dalam tas tanganmu, lalu ikatkan erat-erat tas tangan itu pada lenganmu.’ Dengan peringatan itu, Suster itu berangkat. Bus amat penuh seperti biasanya dan dia harus berdesk-desak untuk masuk, sambil terus awas akan kemungkinan adanya perampok di sekitarnya. Ketika bus mulai berjalan dan Suster itu berpegang pada gantungan untuk menjaga keseimbangannya, tiba-tiba ia melihat bahwa jam tangannya dipakai di lengan seorang muda yang bersandar padanya.” (hal.199). Suster itu pun dengan marah meminta jam tangan itu. Sontak orang muda yang ketakutan itu memberikan jam itu padanya. Sekembalinya di rumah, Suster itu pun kaget karena jam tangannya masih ada di dalam tas tangannya sehingga ia kini mempunyai dua buah jam tangan. Tanpa disadarinya, Suster itu telah merampok jam tangan orang muda dalam bus itu.
Akhirnya semua pengalaman yang ia tuangkan dalam Catatan Hariannya membawanya pada suatu refleksi atas semua pengalamannya berkarya sebagai misionaris, yakni suatu panggilan untuk bersyukur. Syukur atas segala peristiwa yang terjadi dan atas anugerah-anugerah yang ia terima. Baginya, rasa syukur itu dapat membantu kita untuk “merobohkan tembok-tembok kebenaran diri individual maupun kolektif dan dapat mencegah kita untuk menghancurkan diri kita sendiri dan bumi kita dalam usaha sia-sia untuk bertahan pada apa yang kita anggap milik kita sendiri” (hal.291). (St Sigit Pranoto SCJ)
*Dimuat di Jubelium - Keuskupan Surabaya, September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar